Selasa, 22 Desember 2015

PERBUATAN PIDANA Dan PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA



PERBUATAN PIDANA Dan PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Hukum Pidana I

 LOGO UINSA
 
Dosen Pengampu :
Suhadi, S.H., M.Hum
Nama Kelompok :
Saidatul Aliyah                       (C93214097)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Hukum adalah suatu aturan yang telah disepakati dan ilegal, ketika diresmikan baru menjadi wajib yang mana hokum bersifat mengikat atau memaksa suatu masyarakat. Hokum dibagi menjadi dua, yaitu : hokum privat (hokum perdata) dan hokum public (hokum pidana). Van Bammelen secara eksplisit mengartikan hokum pidana dalam dua hal, yaitu hokum pidana materiil dan hokum pidana formil. Menurutnya hokum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu. Sedangkan hokum pidana formil adalah mengatur cara bagimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.
            Perbuatan pidana atau biasa disebut dengan delik tidak termasuk dengan pengertian pertanggungjawaban pidana. Delik hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Sedangkan pertanggungjawaban pidana adalah sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dipidana karena perbuatannya itu.
            Pertanggungjawaban pidana tidak bisa dilakukan jika tidak adanya penjelasan dan pembuktian tentang perbuatan pidana terlebih dahulu. Karena seseorang tidak akan mau jika harus menanggung sebuah pertanggungjawaban tanpa adanya bukti nyata jika orang tersebut melakukan suatu perbuatan pidana.

1.2. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengertian dari perbuatan pidana?
  2. Apa saja jenis-jenis perbuatan pidana?
  3. Bagaimana bentuk perumusan perbuatan pidana?
  4. Bagaimana isi daripada perbuatan pidana?
  5. Bagaimana pertanggungjawaban pidana itu?

1.3. Tujuan Penulisan
1.   Untuk mengetahui pengertian dari perbuatan pidana
2.   Untuk mengetahui jenis-jenis perbuatan pidana
3.   Untuk mengetahui bentuk perumusan perbuatan pidana
4.   Untuk mengetahui isi daripada perbuatan pidana
5.   Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Perbuatan Pidana (delik)
            Menurut Simons (Hazewinkle-Suringa. 1973:65), bahwa strafbaar feit (delik) adalah perbuatan melawan hokum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons adalah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).[1] Menurut Van Hamel (1927:169) menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hokum, strafwaardig (patut atau bernilai untk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijte). Van Hamel menyatakan bahwa istilah strafwaardig feit tidak tepat, tetapi beliau menggunakan istilah strafwaardig feit (peristiwa yang bernilai atau patut dipidana).[2]
            Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adaah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hokum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdsarkan prosedur hokum yang berlaku.[3] Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.[4]

2.2. Jenis-jenis perbuatan pidana (delik)
            Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik.
            Perbuatan pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana formil dan perbuatan pidana materiil. Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya seperti yang tercantum dalam pasal 362 KUHP[5] tentang pencurian dan pasal 160 KUHP[6] tentang penghasutan. Sedangkan delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang.
            Jenis delik dibedakan atas delik komisi (commission act) dan delik omisi (omission act).[7] Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan pencurian, penipuan, dan pembunuhan. Sedangkan delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan seperti yang tercantum dalam Pasal 522 KUHP[8].
            Delik juga dapat dibedakan atas delik kesengajaan (delik dolus) dan kealpaan (delik culpa). Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, misalnya delik pembunuhan dalam pasal 338 KUHP[9]. Sedangkan delik culpa adalah delik-delik yang memuat unsur kealpaan, misalnya perbuatan delik-delik yang memuat unsur kealpaan, misalnya Pasal 359 KUHP[10] tentang kealpaan seseorang yang mengakibatkan matinya seseorang.
            Perbuatan pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana tunggal dan perbuatan pidana berganda. Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan. Delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan, seperti pencurian, penipuan, dan pembunuhan. Delik yang kedua adalah delik ganda, yaitu delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, seperti pasal 480 KUHP[11] yang menentukan untuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan, maka penadahan itu harus dilakukan dalam beberapa kali.
            Perbuatan pidana juga didasarkan atas delik yang berlangsung terus menerus dan delik yang tidak berlangsung terus menerus. Yang dimaksud dengan delik terus menerus adalah delik yang memiliki ciri bahwa perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus menerus. Misalnya delik merampas kemerdekaan orang dalam pasal 333 KUHP[12]. Dalam delik ini, jika orang yang dirampas kemerdekaannya dan belum juga dibebaskan, maka selama itu pula delik masih berlangsung terus menerus. Sedangkan  delik yang tidak berlangsung terus menerus adalah delik yang memiliki ciri bahwa keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus menerus seperti pencurian dan pembunuhan.
            Perbuatan pidana juga dapat dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah delik yang penuntutanya hanya dilakukan jika ada pengakuan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan. Delik aduan dibagi menjadi dua, yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relative. De;ik aduan absolut adalah delik yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pencemaran nama baik. Sedangkan delik relative adalah delik yang dilakukan dalam lingkungan keluarga, seperti pencurian dalam keluarga. Dan delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan, pencurian, dan penggelapan.
            Dan yang terakhir adalah jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik biasa dan delik yang dikualifikasi. Delik biasa adalah bentuk delik yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian. Sedangkan delik yang dikualifikasi adalah delik dalam bentuk pokok ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi diperberat, seperti pasal 363 KUHP.[13]
            Unsur-unsur delik menurut Simons adalah mencampurkan unsur-unsur delik (criminal act) yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hokum perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability) yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan betanggung jawab. Sedangkan menurut Van Hamel meliputi perbuatan : perbuatan itu ditentukan oleh hokum pidana tertulis (asas egalitas) yang mungkin dapat disejajarkan dengan Tatbestand dalam hokum pidana Jerman ; melawan hokum ; bernilai atau patut dipidana yang mungkin sejajar dengan subsocialitelit atau het subsociale, atau barangkali sesuai dengan ajaran sifat melawan hokum yang materiil yang akan diuraikan berikut ; kesengajaan, kealpaan/kelalaian, atau kemampuan bertanggungjawab.[14]
2.3. Bentuk perumusan perbuatan pidana[15]
  1. Kategori Pertama
            Pada kategori pertama ini terdapat tiga perumusan perbuatan pidana, yaitu menyebutkan secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur delik, hanya menyebutkan kualifikasinya saja, dan menyebutkan kualifikasi perbuatan dan sekaligus merinci hal-hal yang menjadi unsur delik. Pertama, tujuan disebutkannya secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur delik yang bagaimakah yang dikehendaki oleh hokum pidana, seperti rumusan pasal 362 KUHP tentang pencurian. Kedua, mengenai penyebutan hanya pada kualifikasinya dapat diperhatikan rumusan pasal 351 KUHP[16] tentang penganiayaan. Ketiga,dalam kategori yang pertama ini juga ditemukan bahwa ada kalanya perumusan perbuatan pidana dalam undang-undang dengan cara menyebutkan kualifikasi perbuatan dan sekaligus merinci hal-hal yang menjadi unsur delik.



  1. Kategori Kedua
            Kategori yang kedua berisi tiga perumusan, yaitu yang leih menekankan pada perbuatan, menekankan pada akibat, dan menekankan pada perbuatan dan akibat. Pertama, perumusan delik dalam undang-undang juga dikenal perumusan yang menekankan pada aspek perbuatan. Hal demikian lazim disebut dengan perumusan delik dalam undang-undang dengan cara formil, seperti pasal 362 KUHP tentang pencurian. Kedua, perumusan yang lain dikenal dengan cara materiil, yaitu lebih menekankan pada akibat akhir dari kelakuan seseorang yang secara hokum merupakan delik, seperti pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Ketiga, adakalanya perumusan delik dalam undang-undang dilakukan dengan cara formil-materiil, yaitu  perumusan delik dengan menyebutkan cara-cara dilakukannya perbuatan pidana dan sekaligus juga akibat yang timbul yang dilarang terjadinya oleh hokum, seperti pasal 378 KUHP[17]  tentang penipuan.

2.4. Perbuatan Pidana atau Delik
a.   Subjek Delik
Subjek delik yang diakui oleh KUHP adalah manusia (natuurlijk person). Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku delik adalah manusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delik dalam KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa…”. Kata “barangsiapa…” jelas menunjuk pada orang atau manusia, bukan badan hokum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi/badan hokum (recht person) yang dipengaruhi oleh pemikiran Von Svigny yang terkenal dengan teori fiksi tidak diakui dalam hokum pidana. Sebab pemerintah Belanda pada saat ini tidak bersedia mengadopsi ajaran hokum perdata kedalam hokum pidana.[18]



b.   Percobaan (Poeging Delicten)
Percobaan melakukan delik diatur dalam pasal 53 dan pasal 54 KUHP. Pasal 53 berbunyi :
1)         Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan kerena kehendaknya sendiri;
2)         Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga;
3)         Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun;
4)         Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.
            Pasal 54 KUHP menyatakan bahwa pelaku percobaan hanya dapat dijatuhi pidana jika perbuatan pidana yang coba dilakukandikategorikan sebagai kejahatan, sedangkan apabila perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai pelanggaran, maka pelakunya tidak dipidana. Dengan kata lain, mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
            Berdasarkan substansi ketentuan pasal 53 dan 54 KUHP, terdapat dua hal yang perlu dikemukakan. Pertama, pada prinsipnya mencoba melakukan suatu delik adalah perbuatan terlarang dan bagi pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana, walau pengenaan pidananya tidak sampai maksimum, tapi dikurangi sepertiga dari mkasimum ancaman sanksi pidana. Kedua, yang dapat dikenakan pidana hanya percobaa melakukan kejahatan, sedangkan percobaan melakukan pelanggran tidak dipidana.
  1. Penyertaan (Deelneming Delicten)
            KUHP tidak memberikan pengertian tentang delik penyertaan, yang ada hanyalah bentuk-bentuk penyertaan baik sebagai pembuat maupun pembantu. Pasal 55 KUHP menyatakan:
1)      Dipidana sebagai pembuat suatu pidana :
Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, srana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2)      Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP berbunyi :
“Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan :
Ke-1. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”
            Berdasarkan ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyertaan adalah apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu delik atau kejahatan itu tidak hanya satu orang saja, melainkan lebih dari satu orang. Meskipun
  1. Perbarengan (Concursus Delicten)
            Terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kalibelum dijatuhi atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang ini, Utrecht sebagai dikutip D. Schaffmeister mengemukakan tentang tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu :[19]
  1. Terjadi perbarengan
  2. Apabila tindak pidana yang lebih awal terjadi diputus dengan memidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan
  3. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hokum pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan pidana maupun pengulangan, melainkan masing-masing pidana dijatuhi hukuman masing-masing.
2.5. Pengertian pertanggungjawaban pidana
(1)   Kemampuan dalam pertanggungjawaban pidana
Menurut Van Hamel, kemampuan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kecerdasan yang membawa pada tiga kemampuan, yaitu : a) mampu mengerti nilai-nilai danakibat-akibat perbuatannya sendiri, b) mampu menyadari bahwa perbuatannya menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan, c) mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.[20]



BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
            Menurut Simons (Hazewinkle-Suringa. 1973:65), bahwa strafbaar feit (delik) adalah perbuatan melawan hokum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons adalah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).
            Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik.
Bentuk perumusan perbuatan pidana
            Pada kategori pertama ini terdapat tiga perumusan perbuatan pidana, yaitu menyebutkan secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur delik, hanya menyebutkan kualifikasinya saja, dan menyebutkan kualifikasi perbuatan dan sekaligus merinci hal-hal yang menjadi unsur delik. Kategori yang kedua berisi tiga perumusan, yaitu yang leih menekankan pada perbuatan, menekankan pada akibat, dan menekankan pada perbuatan dan akibat.
Perbuatan Pidana atau Delik
  1. Subjek Delik
Subjek delik yang diakui oleh KUHP adalah manusia (natuurlijk person). Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku delik adalah manusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delik dalam KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa…”. Kata “barangsiapa…” jelas menunjuk pada orang atau manusia, bukan badan hokum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia.


Kemampuan dalam pertanggungjawaban pidana
            Menurut Van Hamel, kemampuan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kecerdasan yang membawa pada tiga kemampuan, yaitu : a) mampu mengerti nilai-nilai danakibat-akibat perbuatannya sendiri, b) mampu menyadari bahwa perbuatannya menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan, c) mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.




DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011
Ariman, Rasyid Ariman, Hukum Pidana, Malang, Setara Press, 2015
Farid, Zainal Abidin, Cetakan Keempat, Hukum Pidana 1, Jakarta, Sinar Grafika, 2014
Ruba’I dan Masruchin, Buku Ajar Hukum Pidana, Malang, Banyumedia Publishing Anggota IKAPI : 2014
Saleh, Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1981



[1] Prof. Dr. Mr. H.A. Zainal Abidin Farid, S.H, Cetakan Keempat, Hukum Pidana 1, (Jakarta, Sinar Grafika, 2014)224
[2] Ibid, 225
[3] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)98
[4] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta, Aksara Baru, 1981)13
[5] Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.
[6] Barangsiapa dimuka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan mau menurut peraturan undang-undang, dihukum yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500.
[7] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)102
[8] Barangsiapa dengan me;awan hak tidak datang sesudah dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.900.
[9] Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
[10] Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
[11] Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyak Rp.900,- dihukum;
1e karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.
2e barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.
[12] (1) barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selama –lamanya delapan tahun.
(2) jika perbuatan itu menyebabkan luka berat sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
(3) jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(4) hukuman yang ditentukan pasal ini dikenakan juga kepada orang yang sengaja memberi tempat untuk menahan (merampaskemerdekaan) orang dengan melawan hak.
[13] Ibid 103
[14] Prof. Dr. Mr. H.A. Zainal Abidin Farid, S.H, Cetakan Keempat, Hukum Pidana 1, (Jakarta, Sinar Grafika, 2014)224
[15] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)104
[16] (1) penganiayaan yang dihukum dengan hukuma penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500
(2) jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
(3) jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(peecobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
[17] Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau kedaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya emberikan sesuatu barang, membuat utang atau manghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
[18] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)111
[19] Prof. Dr. (AIMS). H. M. Rasyid Ariman, S.H., MH., AV,ADV, Hukum Pidana, (Malang, Setara Press : 2015)75
[20] Prof. Masruchin Ruba’I, S.H., M.S dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, (Malang, Banyumedia Publishing Anggota IKAPI : 2014)96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar