PERBUATAN
PIDANA Dan PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi
mata kuliah Hukum Pidana I
LOGO UINSA
Dosen
Pengampu :
Suhadi,
S.H., M.Hum
Nama
Kelompok :
Saidatul Aliyah (C93214097)
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum
adalah suatu aturan yang telah disepakati dan ilegal, ketika diresmikan baru
menjadi wajib yang mana hokum bersifat mengikat atau memaksa suatu masyarakat. Hokum dibagi menjadi dua, yaitu :
hokum privat (hokum perdata) dan hokum public (hokum pidana). Van Bammelen
secara eksplisit mengartikan hokum pidana dalam dua hal, yaitu hokum pidana
materiil dan hokum pidana formil. Menurutnya hokum pidana materiil terdiri atas
tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan
terhadap perbuatan itu. Sedangkan hokum pidana formil adalah mengatur cara
bagimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang
harus diperhatikan pada kesempatan itu.
Perbuatan pidana atau biasa disebut
dengan delik tidak termasuk dengan pengertian pertanggungjawaban pidana. Delik
hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman
pidana. Sedangkan pertanggungjawaban pidana adalah sebagai diteruskannya celaan
yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada
memenuhi syarat untuk dipidana karena perbuatannya itu.
Pertanggungjawaban pidana tidak bisa
dilakukan jika tidak adanya penjelasan dan pembuktian tentang perbuatan pidana
terlebih dahulu. Karena seseorang tidak akan mau jika harus menanggung sebuah
pertanggungjawaban tanpa adanya bukti nyata jika orang tersebut melakukan suatu
perbuatan pidana.
1.2.
Rumusan Masalah
- Bagaimana pengertian dari perbuatan pidana?
- Apa saja jenis-jenis perbuatan pidana?
- Bagaimana bentuk perumusan perbuatan pidana?
- Bagaimana isi daripada perbuatan pidana?
- Bagaimana pertanggungjawaban pidana itu?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari
perbuatan pidana
2. Untuk mengetahui jenis-jenis
perbuatan pidana
3. Untuk mengetahui bentuk perumusan
perbuatan pidana
4. Untuk mengetahui isi daripada
perbuatan pidana
5. Untuk mengetahui pertanggungjawaban
pidana
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perbuatan Pidana (delik)
Menurut Simons (Hazewinkle-Suringa.
1973:65), bahwa strafbaar feit (delik) adalah perbuatan melawan hokum
yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Kesalahan yang dimaksud oleh Simons adalah kesalahan dalam arti luas yang
meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).[1]
Menurut Van Hamel (1927:169) menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang
diuraikan oleh undang-undang, melawan hokum, strafwaardig (patut atau
bernilai untk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te
wijte). Van Hamel menyatakan bahwa istilah strafwaardig feit tidak
tepat, tetapi beliau menggunakan istilah strafwaardig feit (peristiwa
yang bernilai atau patut dipidana).[2]
Marshall mengatakan bahwa perbuatan
pidana adaah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hokum untuk melindungi
masyarakat, dan dapat dipidana berdsarkan prosedur hokum yang berlaku.[3]
Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang.[4]
2.2. Jenis-jenis perbuatan pidana (delik)
Secara teoritis terdapat beberapa
jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah
perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai
perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik.
Perbuatan pidana juga dibedakan atas
perbuatan pidana formil dan perbuatan pidana materiil. Yang dimaksud dengan
delik formil adalah delik yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukannya
perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tanpa mempersoalkan akibatnya
seperti yang tercantum dalam pasal 362 KUHP[5]
tentang pencurian dan pasal 160 KUHP[6]
tentang penghasutan. Sedangkan delik materiil adalah delik yang perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang.
Jenis delik dibedakan atas delik
komisi (commission act) dan delik omisi (omission act).[7]
Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu
berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan pencurian, penipuan, dan
pembunuhan. Sedangkan delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah, misalnya tidak menghadap
sebagai saksi di muka pengadilan seperti yang tercantum dalam Pasal 522 KUHP[8].
Delik juga dapat dibedakan atas
delik kesengajaan (delik dolus) dan kealpaan (delik culpa). Delik
dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, misalnya delik pembunuhan
dalam pasal 338 KUHP[9].
Sedangkan delik culpa adalah delik-delik yang memuat unsur kealpaan,
misalnya perbuatan delik-delik yang memuat unsur kealpaan, misalnya Pasal 359
KUHP[10]
tentang kealpaan seseorang yang mengakibatkan matinya seseorang.
Perbuatan pidana juga dibedakan atas
perbuatan pidana tunggal dan perbuatan pidana berganda. Delik tunggal adalah
delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan. Delik ini dianggap telah
terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan, seperti pencurian, penipuan,
dan pembunuhan. Delik yang kedua adalah delik ganda, yaitu delik yang untuk
kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, seperti
pasal 480 KUHP[11]
yang menentukan untuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan, maka
penadahan itu harus dilakukan dalam beberapa kali.
Perbuatan pidana juga didasarkan
atas delik yang berlangsung terus menerus dan delik yang tidak berlangsung
terus menerus. Yang dimaksud dengan delik terus menerus adalah delik yang
memiliki ciri bahwa perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus menerus.
Misalnya delik merampas kemerdekaan orang dalam pasal 333 KUHP[12].
Dalam delik ini, jika orang yang dirampas kemerdekaannya dan belum juga
dibebaskan, maka selama itu pula delik masih berlangsung terus menerus.
Sedangkan delik yang tidak berlangsung
terus menerus adalah delik yang memiliki ciri bahwa keadaan yang terlarang itu
tidak berlangsung terus menerus seperti pencurian dan pembunuhan.
Perbuatan pidana juga dapat
dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah delik yang
penuntutanya hanya dilakukan jika ada pengakuan dari pihak yang terkena atau
yang dirugikan. Delik aduan dibagi menjadi dua, yaitu delik aduan absolut dan
delik aduan relative. De;ik aduan absolut adalah delik yang mempersyaratkan
secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pencemaran nama
baik. Sedangkan delik relative adalah delik yang dilakukan dalam lingkungan
keluarga, seperti pencurian dalam keluarga. Dan delik biasa adalah delik yang
tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan,
pencurian, dan penggelapan.
Dan yang terakhir adalah jenis
perbuatan pidana dibedakan atas delik biasa dan delik yang dikualifikasi. Delik
biasa adalah bentuk delik yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang
bersifat memberatkan seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian. Sedangkan
delik yang dikualifikasi adalah delik dalam bentuk pokok ditambah dengan adanya
unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi diperberat, seperti pasal
363 KUHP.[13]
Unsur-unsur
delik menurut Simons adalah mencampurkan unsur-unsur delik (criminal act)
yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hokum perbuatan dan
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) yang mencakup
kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan betanggung jawab. Sedangkan
menurut Van Hamel meliputi perbuatan : perbuatan itu ditentukan oleh hokum
pidana tertulis (asas egalitas) yang mungkin dapat disejajarkan dengan Tatbestand
dalam hokum pidana Jerman ; melawan hokum ; bernilai atau patut dipidana yang
mungkin sejajar dengan subsocialitelit atau het subsociale, atau
barangkali sesuai dengan ajaran sifat melawan hokum yang materiil yang akan
diuraikan berikut ; kesengajaan, kealpaan/kelalaian, atau kemampuan
bertanggungjawab.[14]
2.3. Bentuk perumusan perbuatan pidana[15]
- Kategori Pertama
Pada
kategori pertama ini terdapat tiga perumusan perbuatan pidana, yaitu
menyebutkan secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur delik, hanya
menyebutkan kualifikasinya saja, dan menyebutkan kualifikasi perbuatan dan
sekaligus merinci hal-hal yang menjadi unsur delik. Pertama, tujuan
disebutkannya secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur delik yang
bagaimakah yang dikehendaki oleh hokum pidana, seperti rumusan pasal 362 KUHP
tentang pencurian. Kedua, mengenai penyebutan hanya pada kualifikasinya
dapat diperhatikan rumusan pasal 351 KUHP[16]
tentang penganiayaan. Ketiga,dalam kategori yang pertama ini juga
ditemukan bahwa ada kalanya perumusan perbuatan pidana dalam undang-undang
dengan cara menyebutkan kualifikasi perbuatan dan sekaligus merinci hal-hal
yang menjadi unsur delik.
- Kategori Kedua
Kategori
yang kedua berisi tiga perumusan, yaitu yang leih menekankan pada perbuatan,
menekankan pada akibat, dan menekankan pada perbuatan dan akibat. Pertama,
perumusan delik dalam undang-undang juga dikenal perumusan yang menekankan pada
aspek perbuatan. Hal demikian lazim disebut dengan perumusan delik dalam
undang-undang dengan cara formil, seperti pasal 362 KUHP tentang pencurian. Kedua,
perumusan yang lain dikenal dengan cara materiil, yaitu lebih menekankan pada
akibat akhir dari kelakuan seseorang yang secara hokum merupakan delik, seperti
pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Ketiga, adakalanya perumusan delik
dalam undang-undang dilakukan dengan cara formil-materiil, yaitu perumusan delik dengan menyebutkan cara-cara
dilakukannya perbuatan pidana dan sekaligus juga akibat yang timbul yang
dilarang terjadinya oleh hokum, seperti pasal 378 KUHP[17] tentang penipuan.
2.4. Perbuatan Pidana atau Delik
a. Subjek Delik
Subjek
delik yang diakui oleh KUHP adalah manusia (natuurlijk person).
Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku delik adalah manusia. Hal ini dapat
dilihat pada rumusan delik dalam KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa…”.
Kata “barangsiapa…” jelas menunjuk pada orang atau manusia, bukan badan hokum.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan KUHP Indonesia yang digunakan
sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat
dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi/badan hokum (recht person) yang
dipengaruhi oleh pemikiran Von Svigny yang terkenal dengan teori fiksi tidak
diakui dalam hokum pidana. Sebab pemerintah Belanda pada saat ini tidak
bersedia mengadopsi ajaran hokum perdata kedalam hokum pidana.[18]
b. Percobaan (Poeging Delicten)
Percobaan
melakukan delik diatur dalam pasal 53 dan pasal 54 KUHP. Pasal 53 berbunyi :
1)
Mencoba
melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan kerena kehendaknya sendiri;
2)
Maksimum pidana
pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga;
3)
Jika kejahatan
diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana
penjara paling lama lima belas tahun;
4)
Pidana tambahan
bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.
Pasal
54 KUHP menyatakan bahwa pelaku percobaan hanya dapat dijatuhi pidana jika
perbuatan pidana yang coba dilakukandikategorikan sebagai kejahatan, sedangkan
apabila perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai pelanggaran,
maka pelakunya tidak dipidana. Dengan kata lain, mencoba melakukan
pelanggaran tidak dipidana.
Berdasarkan
substansi ketentuan pasal 53 dan 54 KUHP, terdapat dua hal yang perlu dikemukakan.
Pertama, pada prinsipnya mencoba melakukan suatu delik adalah perbuatan
terlarang dan bagi pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana, walau pengenaan
pidananya tidak sampai maksimum, tapi dikurangi sepertiga dari mkasimum ancaman
sanksi pidana. Kedua, yang dapat dikenakan pidana hanya percobaa
melakukan kejahatan, sedangkan percobaan melakukan pelanggran tidak dipidana.
- Penyertaan (Deelneming Delicten)
KUHP
tidak memberikan pengertian tentang delik penyertaan, yang ada hanyalah bentuk-bentuk
penyertaan baik sebagai pembuat maupun pembantu. Pasal 55 KUHP menyatakan:
1) Dipidana
sebagai pembuat suatu pidana :
Ke-1.
Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
Ke-2.
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, srana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan.
2) Terhadap
penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,
beserta akibat-akibatnya.
Pasal
56 KUHP berbunyi :
“Dipidana
sebagai pembantu suatu kejahatan :
Ke-1.
Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ke-2.
Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.”
Berdasarkan
ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan penyertaan adalah apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu
delik atau kejahatan itu tidak hanya satu orang saja, melainkan lebih dari satu
orang. Meskipun
- Perbarengan (Concursus Delicten)
Terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang
dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kalibelum dijatuhi atau antara tindak
pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu
putusan hakim. Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan
oleh satu orang ini, Utrecht sebagai dikutip D. Schaffmeister mengemukakan
tentang tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu :[19]
- Terjadi perbarengan
- Apabila tindak pidana yang lebih awal terjadi diputus dengan memidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan
- Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hokum pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan pidana maupun pengulangan, melainkan masing-masing pidana dijatuhi hukuman masing-masing.
2.5. Pengertian pertanggungjawaban pidana
(1) Kemampuan dalam pertanggungjawaban
pidana
Menurut
Van Hamel, kemampuan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas
psikis dan kecerdasan yang membawa pada tiga kemampuan, yaitu : a) mampu mengerti
nilai-nilai danakibat-akibat perbuatannya sendiri, b) mampu menyadari bahwa
perbuatannya menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan, c) mampu untuk
menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.[20]
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Menurut Simons (Hazewinkle-Suringa.
1973:65), bahwa strafbaar feit (delik) adalah perbuatan melawan hokum
yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Kesalahan yang dimaksud oleh Simons adalah kesalahan dalam arti luas yang
meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai).
Secara teoritis terdapat beberapa
jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah
perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari
sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik.
Bentuk perumusan perbuatan pidana
Pada
kategori pertama ini terdapat tiga perumusan perbuatan pidana, yaitu
menyebutkan secara rinci terhadap hal-hal yang menjadi unsur delik, hanya menyebutkan
kualifikasinya saja, dan menyebutkan kualifikasi perbuatan dan sekaligus
merinci hal-hal yang menjadi unsur delik. Kategori yang kedua berisi tiga
perumusan, yaitu yang leih menekankan pada perbuatan, menekankan pada akibat,
dan menekankan pada perbuatan dan akibat.
Perbuatan Pidana atau Delik
- Subjek Delik
Subjek delik yang diakui oleh KUHP
adalah manusia (natuurlijk person). Konsekuensinya, yang dapat menjadi
pelaku delik adalah manusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delik dalam KUHP
yang dimulai dengan kata “barangsiapa…”. Kata “barangsiapa…” jelas menunjuk
pada orang atau manusia, bukan badan hokum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dalam ketentuan KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih
menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia.
Kemampuan dalam pertanggungjawaban pidana
Menurut
Van Hamel, kemampuan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas
psikis dan kecerdasan yang membawa pada tiga kemampuan, yaitu : a) mampu
mengerti nilai-nilai danakibat-akibat perbuatannya sendiri, b) mampu menyadari
bahwa perbuatannya menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan, c) mampu
untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,
Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011
Ariman,
Rasyid Ariman, Hukum Pidana, Malang, Setara Press, 2015
Farid, Zainal Abidin, Cetakan Keempat, Hukum
Pidana 1, Jakarta, Sinar Grafika, 2014
Ruba’I
dan Masruchin, Buku Ajar Hukum Pidana, Malang, Banyumedia Publishing
Anggota IKAPI : 2014
Saleh,
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1981
[1] Prof. Dr. Mr. H.A. Zainal
Abidin Farid, S.H, Cetakan Keempat, Hukum Pidana 1, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2014)224
[2] Ibid, 225
[3] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar
Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)98
[4] Roeslan Saleh, Perbuatan
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta,
Aksara Baru, 1981)13
[5] Barang siapa mengambil
sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain,
dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena
pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 900.
[6] Barangsiapa dimuka umum
dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan
yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya
jangan mau menurut peraturan undang-undang, dihukum yang sah yang diberikan
menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp.4500.
[7] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar
Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)102
[8] Barangsiapa dengan me;awan
hak tidak datang sesudah dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi,
ahli atau juru bahasa, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.900.
[9] Barangsiapa dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
[10] Barangsiapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
[11] Dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyak Rp.900,- dihukum;
1e karena sebagai
sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar menerima gadai,
menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual,
menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu
barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena
kejahatan.
2e barangsiapa yang
mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang
patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.
[12] (1) barangsiapa dengan
sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan
melawan hak, dihukum penjara selama –lamanya delapan tahun.
(2) jika perbuatan itu
menyebabkan luka berat sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sembilan
tahun.
(3) jika perbuatan itu
menyebabkan kematian orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya dua belas
tahun.
(4) hukuman yang ditentukan
pasal ini dikenakan juga kepada orang yang sengaja memberi tempat untuk menahan
(merampaskemerdekaan) orang dengan melawan hak.
[13] Ibid 103
[14] Prof. Dr. Mr. H.A. Zainal
Abidin Farid, S.H, Cetakan Keempat, Hukum Pidana 1, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2014)224
[15] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar
Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)104
[16] (1) penganiayaan yang
dihukum dengan hukuma penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4500
(2) jika perbuatan itu
menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
(3) jika perbuatan itu
menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) dengan penganiayaan
disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(peecobaan melakukan kejahatan
ini tidak dapat dihukum.
[17] Barangsiapa dengan maksud
hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik
dengan memakai nama palsu atau kedaan palsu, baik dengan akal dan tipu
muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang
supaya emberikan sesuatu barang, membuat utang atau manghapuskan piutang,
dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
[18] Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-dasar
Hukum Pidana, (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2011)111
[19]
Prof. Dr. (AIMS). H. M. Rasyid Ariman, S.H., MH., AV,ADV, Hukum Pidana,
(Malang, Setara Press : 2015)75
[20]
Prof. Masruchin Ruba’I, S.H., M.S dkk, Buku Ajar Hukum Pidana, (Malang,
Banyumedia Publishing Anggota IKAPI : 2014)96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar